;

Senin, 24 Desember 2012

Gairah Tante Vivi 01

Senin, 24 Desember 2012


Tante Vivi menyuruhku datang malam ini ke rumahnya. Sebenarnya agak malas juga dan khawatir, bagaimanapun saya lebih senang mengajak Selva, pacarku untuk menemani, ini membuatku ragu-ragu untuk berangkat.
9.15 malam: Aku masih ragu-ragu..., berangkat..., tidak..., berangkat..., tidak.
9.25 malam: Akhirnya Tante Vivi tanpa kuduga benar-benar menelepon, kebetulan aku sendiri yang menerima.
"Lho..., Ar..., kok kamu belum berangkat, bisa dateng tidak Ar?..", tanyanya kendengaran agak kecewa.
"Mm..., gimana ya Tante..., agak gerimis nih di sini...", sahutku beralasan.
"Masa iya Ar..., yaah..., kalo gitu Tante jemput aja yaa...", balasnya seolah tak mau kalah. Aku jadi blingsatan dibuatnya.
"Waah..., tidak usah deh Tante..., okelah saya ke sana sekarang Tante..., mm Selva saya ajak ya Tante...", sahutku kemudian. Aku pikir ke sana malm-malam mau tidak mau akhirnya pasti harus nginap. Kalau ada Selva kan aku tidak begitu risih, masa aku bawa Selva pulang malam-malam. Tapi...
"iih..., jangan Ar..., Selva jangan diajak..., mm pokoknya ke sini aja dulu Ar..., yaa..., Tante tunggu..., Klik", sekali lagi seolah disengaja Tante Vivi langsung memutuskan hubungan. Sialan pikirku, dia mengerjaiku, ngapain malam-malam ke sana kaya tidak ada waktu siang atau pagi kek. Aku jadi kesal, ngapain Selva kemarin cerita kalau aku banyak ngerti masalah Komputer. Wuueek..., kaya pakar wae..., sekarang baru kena getahnya.

Akhirnya dengan perasaan malas, malam itu benar-benar agak gerimis, badanku sampai kedinginan terkena rintik air gerimis malam yang dingin
.Sekitar pukul 10.00 malam: Aku sampai juga di tempat Tante Vivi, suasana di komplek perumahan itu sudah sepi sekali, aku membuka pintu pagar yang sengaja belum dikunci dan kumasukkan sepeda motor ke dalam.
Belum sempat aku mengetuk pintu, ternyata Tante Vivi rupanya sudah mengetahui kedatanganku. Mungkin ia mendengar deru suara motorku ketika datang tadi.
"aahh..., akhirnya dateng juga kamu Ar...", katanya ramah dari balik pintu depan.
"Iya..., Tante...", sahutku berusaha ramah, bagaimanapun aku masih setengah kesal, sudah datang malam-malam kehujanan lagi.
"Agak gerimis ya Ar...", tanyanya seolah tak mau tau.
"Hsii...", Tanpa sadar aku terbersin.
"Eehh..., kamu Flu Ar...", tanyanya kemudian.

Aku mengusap wajah dan hidungku yang setengah lembab terkena air gerimis. Tante Vivi menarik tanganku masuk ke dalam dan menutup pintu. "Klik...", sekaligus menguncinya. Aku tak begitu memperhatikannya karena aku sendiri kuatir dengan kondisiku yang terasa agak meriang. Kuusap berulang kali wajahku yang dingin. Lalu tiba-tiba kurasakan sebuah telapak tangan yang hangat dan lembut membantu ikut mengusap pipi kananku.

"Pipimu dingin sekali Ar..., kamu pasti masuk angin yaa..., Tante bikinin susu jahe anget yaa...", sahutnya lembut. Aku menoleh dan astaga wajahnya itu begitu dekat sekali dengan mukaku. "Duh..., cantiknya". Kulitnya yang putih mulus dan halus, matanya yang hitam bulat sedikit sipit dengan bentuk alisnya yang hitam memanjang tanpa celak, hidungnya yang kecil bangir, dan bentuk bibirnya yang menawan tanpa lipstik. Terlihat sedikit tebal dan begitu ranum. Sexy sekali bibirnya. Tante Vivi tersenyum kecil melihatku setengah melongo.
"Kamu duduk dulu Ar..., Tante ke belakang dulu...", sahutnya pelan.

Tanpa menunggu jawabanku, ia membalikkan tubuh dan bergegas berjalan melintasi ruang tengah menuju ke belakang. Tubuhnya yang tingginya mungkin sekitar 160 cm kelihatan begitu seksi ramping dan padat. Sempat kulihat langkah kakinya yang berjalan sangat elok, saat itu kuingat jelas ia memakai celana Jeans putih ketat serta memakai baju kemeja halus berwarna merah muda dan dibiarkan berada di luar celana. Baju yang dikenakannya seperti umumnya baju kemeja sekarang yang relatif panjang, membuat celana jeans yang dikenakannya tertutup sampai ke atas paha. Namun karena sifatnya yang lemas, membuat bajunya itu seolah menempel ketat pada bentuk tubuhnya yang memang sangat seksi dan montok. Pinggulnya yang bulat padat bergoyang indah kekiri dan kanan. Begitu gemulai bagai penari Jaipong.

Kuhempaskan pantatku dengan perasaan lelah di atas sofa empuk ruang tamunya. Aku memandang ke sekeliling ruangan tamunya yang cukup mewah. Lukisan besar pemandangan alam bergaya naturalis tergantung di atas tembok persis di belakang tempat dudukku. Selebihnya berupa lukisan-lukisan naturalis sederhana yang berbingkai kecil dan sedang tentang suasana kehidupan pulau Bali. Aku tak begitu tertarik dengan lukisan, sehingga aku tak sampai mengamati lama-lama.

Sepuluh menit kemudian, Tante Vivi muncul dengan segelas besar susu jahe yang masih kelihatan panas, karena asapnya masih terlihat mengepul. Dengan wajah cerah dan senyum manis bibirnya yang menggemaskan, mau tak mau aku jadi ikutan senang.
"Waah..., asiik nih kelihatannya..., wangi lagi baunya..., mm..", kataku spontan.
"Pelan-pelan Ar..., masih panas...", sahutnya pendek, sambil memberikan minuman jahe itu kepadaku. Lalu tanpa risih ia duduk di sebelahku. Aku jadi deg-degan juga.
"Gimana kuliah Selva Ar..., kapan nih rencana mau majunya...", tanya Tante Vivi kemudian.
"Entah Tante..., setahu saya sih bulan depan ini dia harus menyelesaikan seluruh asistensi skripsinya. Soal maju ujian skripsi saya kurang tau Tante..", sahutku polos.
"iih.., kamu ini gimana sih Ar..., pacarnya sendiri kok tidak tahu, asyiik pacaran aja yaa rupanya...", ujar Tante Vivi setengah bercanda.
"aah..., Tau aja Tante..., tidak salah...", sahutku sambil ketawa nyaring.
"Kamu menyukai dia Ar...", tanya Tante Vivi kemudian, seolah setengah malas menanggapi candaku.
" Waah..., Tante ini gimana sih..., ya jelas dong Tante..., lagipula sekarang kami sudah sangat serius menjalin hubungan ini..., saya mencintainya Tante...", sahutku sedikit serius.

Tante Vivi tersenyum kepadaku, giginya yang putih bersih terawat kelihatan indah, serasi dengan bentuk bibirnya yang tak terlalu lebar.
"Tidak Ar..., Tante khan cuman nanya..., soalnya Tante lihat Selva sayang sekali sama kamu...", ujarnya kemudian.
"Jangan kuatir deh Tante...", sahutku pelan sambil mulutku mulai menyeruput wedang susu jahe bikinannya itu. Terasa sedikit pedas di bibir namun hangat manis di lidah dan kerongkonganku.
"Komputernya di taruh mana Tante...", tanyaku tanpa memandangnya sambil terus seteguk demi seteguk menghabiskan minumanku.
"Tuh..., di kamar kerja Tante...",sahutnya pendek. Sejenak aku meletakkan minuman dan memandang Tante Vivi yang berada di sebelahku.
"Lalu tunggu apalagi nih...", ujarku setengah bercanda.
"Apanya...?", tanya Tante Vivi seakan tak mengerti. Pandangan matanya kelihatan sedikit bingung.
"Lhoh..., katanya pengen diker..., eeh diajarin...", lanjutku. Hampir aja aku kelepasan ngomong ngeres, jantungku sampai kaget sendiri dag-dig-dug tidak karuan. Untung tidak kebablasan ngomomg.
"ooh..., iya.., aduuh Tante sampai kaget..., Yuk ke kamar Ar...", sahutnya sambil mencolek lenganku. Kami berdiri dan berjalan beriringan ke tempat yang ia maksud. Kami melintasi ruangan tengah yang lebih lapang dan mewah. Kulihat sebuah meja pendek tempat dudukan pesawat Televisi ukuran besar mungkin sekitar 51 inchi lengkap dengan satu set sound systemnya sekaligus berada di sebelah kiri ruang itu. Sedangkan kami menuju ke sebuah ruangan di sebelah kanan yang pintunya sudah setengah terbuka. Tante Vivi menyilahkanku masuk duluan.

"Masuk Ar..., sorry ruangannya agak berantakan...", ujarnya sambil memberi jalan. Aku masuk dulu kedalam ruangan diikuti Tante Vivi. Ruangan atau kamar itu cukup besar berukuran 5 x 7 meter dan pada umumnya tampak rapi walau masih ada sedikit acak-cakan karena di atas lantai persis di depan tempatku berdiri yang terhampar sebuah karpet berukuran sedang tampak berserakan beberapa majalah wanita yang halamannya masih terbuka disana-sini. Di depannya ada sebuah meja kerja yang cukup besar, dan di atas meja terdapat beberapa buah buku kecil dan agenda kerja, selain itu terlihat 2 kardus besar dan beberapa kardus kecil yang aku sudah hapal bentuk dan cirinya, apalagi pada kardus besar yang berbentuk kotak itu terdapat tulisan besar GoldStar Monitor. Ketika aku menengok ke sebelah kiri, waah..., ternyata di situ terdapat sebuah ranjang berukuran sedang. Kasurnya jelas Spring Bed yang terlihat dari ukurannya yang tebal, tertutup dengan sprei berwarna merah jambu. Bantalnya bertumpuk rapi di sisi kiri dan kanan tempat tidur. Di sebelah kiri tempat tidur terdapat sebuah meja kecil dan seperangkat mini stereo.

"Waduuh..., ini tempat kerja apa kamar Tante...?", tanyaku heran dan kagum. Bagiku ruangan selapang ini terlalu besar untuk kamar tidur. Kamarku sendiri yang berukuran 3x4 meter aja menurutku sudah gede, apalagi sebesar ini.
"Dua-duanya Ar..., ya kamar kerja ya..., tempat tidur..., mm..., Tante khan cuman sendirian di rumah ini Ar...", sahut Tante Vivi yang berada di sebelah kananku.
"Sendirian..., maksud Tante?", tanyaku kepadanya tak mengerti.
"Lhoh..., apa Selva tidak pernah bilang sama kamu..., Tante khan..., sudah bercerai Ar...", sahutnya kemudian. Kedengaran sekali kalimat terakhir yang diucapkannya sedikit terpatah-patah.

Astaga..., seruku dalam hati. Pantas, seolah baru menyadari. Selama ini aku tak pernah ingat apalagi menanyakan tentang suami Tante Vivi ini. Jadi selama ini Tante Vivi itu seorang Janda. Ya ampuun..., kenapa aku tak menyadari sejak semula. Semenjak pertama kali aku datang ke sini bersama Selva, memang aku tak melihat orang lain lagi selain Inem pembantunya. Waktu itu kupikir suaminya sedang bekerja. Pantas ketika aku datang tadi hanya Tante Vivi sendirian yang menyambutku. Jadii..., hatiku jadi setengah grogi juga. Aku jadi teringat tentang beberapa kisah nyata di majalah yang pernah kubaca tentang kehidupan seorang janda muda, terutama sekali mengenai soal seks. Pada umumnya katanya mereka sangat mudah dirayu dan tak jarang juga pintar merayu. Jangan-jangan..., pikirku mulai ngeres lagi.
"ooh..., maaf Tante saya baru tahu sekarang...", ujarku lirih sejenak kemudian. Tante Vivi tersenyum kecil.
" Udahlah Ar..., itu masa lalu..., tidak usah diungkit lagi...", ujarnya setengah menghindar. Terlihat ada setetes air menggenang di pelupuk kedua matanya yang indah.

Sedetik kemudian ia sengaja memalingkan mukanya dari tatapanku, mungkin ia tak ingin terlihat sedih di depanku. Kemudian ia berjalan ke depan dan setengah berjongkok memunguti semua majalah yang masih berserakan di atas karpet, spontan aku segera menyusul hendak membantunya.
"Sini Ari bantu Tante...", kataku pendek. Tanpa menoleh ke arahnya aku langsung nimbrung mengumpulkan majalah yang masih tersisa.
"iih sudah Ar..., tidak usah..., kok kamu ikutan repot...",sahutnya. Kali ini wajahnya kulihat sudah cerah kembali. Bibirnya yang ranum setengah terbuka menyunggingkan sebuah senyuman manis. Manis sekali. Aku sempat terpana selama 2 detik.

" Tante tidak menikah lagi...?", tanyaku padanya tanpa sadar. Sedikit kaget juga aku dengan pertanyaanku, jangan-janga ia marah atau sedih kembali. Namun ternyata tidak, sambil tetap tersenyum ia balik bertanya.
"Siapa yang mau sama aku Ar...?"
"aah..., Ari kira banyak Tante..."
"Siapaa...?"
"Ari juga mau Tante...", kataku cuek, karena maksudku memang bercanda. Ia mendelik lalu sambil setengah ketawa tangannya mencubit lenganku sekaligus mendorongku ke samping.
"Hik..., hik..., kamu ini ada-ada aja Ar..., jangan nyindir gitu dong Ar, memangnya gampang cari laki-laki jaman sekarang...", ujarnya. Lalu kulihat ia terduduk diam seribu bahasa. Aku jadi heran sekaligus geli melihatnya melamun sambil memegangi majalah.
"Kenapa Tante... ", tanyaku padanya. Tante Vivi sedikit kaget mendengar pertanyaanku. Namun sambil tersenyum kecut ia hanya menjawab pendek.
"Sudahlah Ar..., jangan bicara masalah itu...". Akupun tak mengubernya walau sebenarnya masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi dulu dengan perceraiannya.

Singkat cerita, malam itu aku hanya menghabiskan waktu sekitar 20 menit untuk merakit komputer barunya. Untung saja Tante Vivi membeli komputer jenis Build Up sehingga aku tak perlu untuk memeriksa 2 kali, cuman periksa tegangan input, tinggal sambung kabel ke monitor dan CPU, pasang external modem, pasang speaker aktifnya ke output soundcard, sambung ke stavolt..., sudah beres.

"Sudah beres Tante..., mm..., mau sambung ke internet...?", tanyaku puas. Agak keringetan juga rasanya mukaku, walau cuman sekedar sambung sana-sini.
"aah masa...?, secepat itu Ar...?", tanya Tante Vivi yang sejak tadi juga tak pernah beranjak dari sebelah kananku, asyik melihatku bekerja.
"Lha..., iya..., gampang khan...", sahutku pendek. Kupandangi wajah cantiknya yang setengah melongo seolah tak yakin.
"Makanya dicoba dulu dong Tante..., biar tidak nanya-nanya lagi..., mana nih stop kontaknya", tanyaku kemudian.
"iih..., hik..., hik..., gitu aja sewot..., jahat kamu Ar..., hik..., hik..., ehem..., itu ada di belakang meja sebelah bawah Ar...", jawabnya sambil setengah tertawa kecil.
Aku melongok ke bawah meja..., astaga di bawah situ berarti mestinya aku harus merangkak di situ..., sejenak aku melongo.
"Kenapa Ar...?"
"Ooh tidak Papa Tante..".

Akhirnya mau tak mau akhirnya aku harus merangkak masuk ke bawah meja kerjanya yang cukup besar itu sambil tangan kananku menarik kabel power CPU-nya ke bawah. Pengap juga di bawah situ karena memang agak remang, maklum penerangan di kamar ini hanya cuma menggunakan sebuah lampu bohlam sekitar 100 Watt, sinarnya kurang kuat di bawah sini. Sedang lampu meja kerja terpaksa dimatikan untuk stroom komputer. Setelah terpasang ke stop kontak, sambil setengah merangkak mundur aku langsung membalikkan tubuh dan astaga..., aku terhenyak kaget karena melihat Tante Vivi ikut juga melongok membungkuk ke bawah meja, tanpa disengaja kedua mataku menyaksikan pemandangan vulgar yang luar biasa indah.

Woow, Tante Vivi dengan posisi tubuh seperti itu membuat baju kemejanya yang sedikit gombrong dan karena jenis kainnya yang sangat lemas membuatnya jadi melorot ke bawah pas dibagian dada, apalagi kancing kemejanya yang sedikit rendah, membuat kedua bulatan payudaranya yang sangat besar dan berwarna putih terlihat menggantung bak buah semangka, diantara keremangan aku masih dapat melihat dengan sangat jelas betapa indah kedua bongkah susunya yang kelihatan begitu sangat montok dan kencang. Samar kulihat kedua puting mungilnya yang berwarna merah kecoklatan. "Yaa aammpuunn...", bisikku lirih tanpa sadar, "Ia tidak pake Behaa..."

Tante Vivi semula tak menyadari apa yang terjadi dan apa yang sedang kupelototi, 5 detik saja..., bagiku itu sudah cukup lama, Tante Vivi seolah baru menyadari ia menjerit lirih.
"iih...", serunya lirih. Masih dalam posisi membungkuk, tangan kanannya reflek menarik bajunya sampai ke atas leher, setengah pucat ia memandangku lalu berdiri dan mundur 1 langkah. Sudah telanjur, percuma kalau malu, akhirnya dengan cuek aku merangkak ke luar dan berdiri di hadapannya, sambil senyam-senyum seolah tidak salah, akhirnya aku minta maaf juga kepadanya.

"Maaf Tante..., sa..., Ari tidak sengaja...", ujarku cuek. Tante Vivi masih dengan sedikit pucat, akhirnya hanya bisa tersenyum kecil. Wajahnya kelihatan memerah.
"Sudahlah..., Ar...", sahutnya pendek. Dalam hati aku berbisik, lumayan dapat tontonan susu gede gratiss.




TULISAN BERJALAN INI SILAHKAN DIISI DENGAN PESAN ANDA

NAMA ANDA - 09.18
MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI